Rabu, 28 Maret 2012

Menjemputku

Anyir! Uh… Perutku berontak.

Hidungku tak berfungsi. Mataku merasa jijik.

***

Detak jantungku kembali hadir, berdegup keras. Tak ada jeda yang membatasi, tak ada sunyi menyelimuti.

Hanya suara itu. Ya, suara itu. Masih bernyawa.

Aku beranjak, meninggalkan tempat itu. Lambat laun, hanya menyisakan fatamorgana.

Aku sudah merasa sedikit tenang. Suara itu sudah pergi, semoga tak hadir kembali.

Ringan sekali tubuhku, aku melihat kuning, putih dan…gelap.

***

“Zi, bangun.” Terdengar samar.

“Ziya, bangun, dong.”

Mataku masih tertutup. Tapi…bayangan itu kembali hadir. Hanya sekejap, aku terlonjak bangun.

“Ziya, kamu kenapa, sih? Bikin kaget orang aja.” Ternyata suara Kina.

“Ziya tadi kenapa? Ziya sakit?” Suara lembut itu menenangkanku, suara mbak Leni.

Aku hanya bisa menjawabnya dengan tersenyum, tak bisa lebih dari itu. Jantungku berdegup keras.

“Ziya enggak jawab juga enggak apa-apa kok. Istirahat aja dulu. Mungkin Ziya kecapekan.” Mbak Leni mengajak Kina keluar dari…

Aku baru tersadar, kamar siapa ini?

Sejak aku pulang dari rumah Rion, laki-laki yang tak aku kenal. Tapi, kata mbak Leni, dia yang menolongku waktu pingsan di jalan tadi.

Aku merasa, dia yang mengikutiku selama ini, masih disini.

Entah dimana. Mungkin di sisi. Atau mungkin ditubuhku sendiri.

Karena degup jantungnya masih terdengar oleh telingaku. Dekat sekali, bahkan sangat dekat. Bukan, suara degup jantung itu bukan suara degup jantungku, tapi degup jantung orang lain.

Apa dia orang? Tapi aku hanya sendiri!          

Aku menyalakan televisi dan mencari channel yang bagus, ketemu. Lumayan menghibur, Tom and Jerry. Aku keraskan volumenya, agar tak merasa sepi.

Sementara ini, aku terlupa dengan segala bayang, suara maupun bau yang sangat menjijikan itu. Hanya terpusat pada televisi dan sedikit terhibur olehnya.

Senja sudah berlalu dengan sangat indah, aku menikmatinya, bahkan sangat menikmatinya. Dengan ditemani secangkir coklat hangat, jiwaku sudah benar-benar tenang. Aku juga dapat tersenyum kembali.

Drap. Drap. Drap.

Tubuhku kembali kaku, leherku seperti terikat oleh sebuah tali dengan sangat erat. Dan kakiku seperti dikubur dalam semen yang sekian lama menahanku.

Langkah kaki, atau langkah kaki pemilik jantung itu? Ada yang mencengkeram bahuku.

“Ziya, pintu depan kok enggak dikunci?” Aku berbalik.

“Mbak Leni.”

“Kamu kok kelihatan pucat banget, sih? Masih enggak enak badan? Kamu istirahat aja ya, mbak kesini buat jagain kamu.”

Aku hanya menurut, dan mencoba tidur.

***

Aku mendengar tangisan, sendu sekali. Begitu menyayat hati orang yang mendengarnya, sangat memilukan.

Siapa yang ada di hadapan mbak Leni?

“Ziya, semoga kamu tenang disana.” Masih dengan sesenggukan.

Aku melihat diriku sendiri. Dan hilang. (Yubni A.I.)

0 komentar:

Posting Komentar