Jumat, 26 Juli 2013

Berbagi Dosa [Bagian Kedua]

Usman lalu menarik Rohim ke tukang mainan lainnya. Uangnya masih banyak, ia ingin beli mobil-mobilan. Cahyo yang tidak tertarik berjalan melambat di belakang sambil terus berfikir. “Apa uang 10 ribu ini buat beli martabak saja, ya? Satunya bisa dibawa pulang untuk ibu. Terus lampu stick itu...” Cahyo mengingat penjual lampu stick itu cukup sibuk melayani banyak pembeli.

Selain yang digantung, ada juga lampu stick yang dipajang di gelaran bawah bersama mainan lainnya, hanya saja tidak dinyalakan. Usman dan Rohim pasti tadi tidak melihatnya. “Kalau aku pura-pura melihat-lihat, berjongkok, lalu menyelipkannya di bawah bajuku pasti tidak ketahuan,” siasat Cahyo.

Ia lalu balik ke penjual mainan itu. Dag dig dug hatinya. Ia berpura-pura memilih tanpa melepaskan pandangan dari incarannya. Namun sial, saat akan mendekati lampu stick, beberapa pembeli yang tadi menutupi si penjual tiba-tiba pergi. Otomatis pandangan bapak penjual jadi hanya tertuju padanya. Deg! Cahyo gelagapan karena merasa akan melakukan kejahatan. Ia segera bangkit meninggalkan kios mainan itu diiringi pandangan heran si penjual.

Kamis, 04 Juli 2013

Berbagi Dosa [Bagian Pertama]


Malam ini malam ketiga pasar malam di lapangan desa sebelah. Cahyo sudah bersemangat sekali mendatanginya setelah kemarin malam hujan, dan malam sebelumnya lagi belum diizinkan ibunya. Ia sudah janjian dengan Usman dan Rohim, dua sahabatnya yang sama-sama suka nyruntul pulang duluan usai sholat isya di masjid. Lebih-lebih kali ini, baru juga selesai salam, ketiga anak yang baru naik kelas 3 SD itu langsung berhambur keluar masjid dan berkejaran di jalan.

Mereka tidak ragu berangkat ke pasar malam bertiga saja karena di jalan banyak pula orang yang hendak mengunjungi tempat hiburan rakyat tersebut, mulai dari sesama anak-anak dan orang tuanya, muda-mudi, bahkan beberapa kaki-nini. 

Usman yang berjalan paling depan lalu memamerkan uang 40 ribu yang ia dapat dari bapaknya, juragan ayam. Ia bilang uang itu akan ia belikan lampu stick alias lampu hias warna-warni, arum manis, mobil-mobilan, martabak, dan donat.

Abi


"Assalamualaikum anak abi, nanti pulang kerja abi jemput ya.. kebetulan abi lagi ditempat om vion". Pesan singkat yang aku terima dari Abi. Aku jawab saja dengan kata "iya". Singkat dan selesai.

Kerjaan di kantor hari ini cukup membuat mataku memerah. Mengejar deadline. Huh… mataku perih melihat huruf-huruf ini menari di komputerku. Beberapa saat lagi Abi pasti datang. Dia akan tetap menjemputku walaupun dia sedang sibuk mengatar katering.

“Abi tadi baru nganter katering ke rumah Om Vion, kata Om Vion anaknya mau dikhitan, minggu depan kita diundang untuk acara syukuran di rumahnya” Abi membuka pembicaraan. Matanya tetap focus menyetir mobil. 

Aku diam, hanya mengangguk tanda “iya”. Seperti itulah komunikasiku dengan Abi. Abi tak pernah marah dengan caraku ini, dia mengerti kondisiku yang terbatas.

Seandainya aku bisa, aku ingin mengatakan pada Abi. Abi adalah sosok ayah yang luar biasa. Apa yang tidak dilakukan Abi untukku. Semuanya Abi lakukan, mengantar aku berangkat kerja, menjemputku pulang, mengingatkanku untuk makan saat jam makan siang dan banyak hal yang tidak dilakukan Ayah lainnya kecuali Abi.

****

Puisi


puisi,
puisi itu ungkapan
puisi itu gambaran
puisi itu curahan