Senin, 12 Maret 2012

Hati Itu Seperti Bau

Seorang pemuda yang sejak kecil selalu berbuat baik, tidak pernah berbohong, apalagi untuk sebuah kejahatan, melakukan hal yang menurutnya adalah sebuah kejahatan, dosa terbesar dalam hidupnya. Hatinya merasa gelisah memikirkan hal itu, berhari-hari dia selalu dihantui rasa berdosa. Hingga suatu hari, ia pergi ke sebuah sungai, mencoba membuang rasa bersalahnya.

Sungai yang indah, udara sejuk, air jernih, bebatuan yang menghiasinya sedikit menghilangkan rasa bersalahnya. Namun dalam benaknya tetap memikirkan apa yang telah ia perbuat. Ia kurang berhati-hati dalam berlaku. 

Beberapa saat kemudian, datang seorang kakek. Kakek itu menghampiri sang pemuda.

Hidup itu tidak selamanya lurus, juga penuh warna,” kata sang kakek memecah lamunan. “Kakek, sedang apa disini?” kata si pemuda sedikit kaget.

“Hanya ingin sedikit memberimu semangat,” jawab kakek sambil tersenyum.

“Semangat tidak akan membuat apa yang telah kulakukan menjadi lebih baik,” timpal pemuda murung itu.

“Seperti yang kukatakan awal tadi, hidup itu tidak selamanya lurus, juga pasti penuh warna,” kakek sedikit memberikan petuah.
“Iya Kek, tapi hatiku tidak bisa bohong kalau aku telah melakukan kesalahan, aku tak bisa membuang rasa bersalahku ini,”  sang pemuda menyampaikan rasa hatinya.

“Hati itu layaknya bau, tak pernah bisa menyembunyikan rasa yang ada pada dirinya. Apa yang dapat ditangkap oleh indra penciuman ini selalu menampilkan rasa pada dirinya, misal bau busuk, ia akan selalu merasa busuk, tak mungkin ia akan menunjukkan rasa pada dirinya; harum. Tidak berbeda dengan hati. Ia akan merasa bersalah ketika dia melakukan kesalahan,” kakek mencoba menasehati.

“Lalu, bagaimana cara menghilangkan bau itu, Kek?” tanya pemuda itu.

“Tutuplah bau busuk itu dengan bau yang harum, semakin banyak bau harum, semakin cepat bau busuk itu akan hilang.” Sang kakek mengakhiri nasihatnya dan pergi meninggalkan sedikit pertanyaan di benak pemuda itu.

Pemuda itu berpikir, apa yang dimaksud kakek. Beberapa saat kemudian ia menemukan jawaban atas apa yang disampaikan kakek. Dia harus mentutup kesalahannya dengan kebaikan, semakin banyak kebaikan yang ia perbuat, lambat laun rasa bersalah yang ada di hati akan hilang. (Fefaz Feri Fajar)

0 komentar:

Posting Komentar