Rabu, 15 Mei 2013

Oranye

Sejenak ia terlihat duduk di tepi trotoar. Menunggu datangnya pengendara yang menghentikan kendaraannya di area penjajakannya. Tangannya bergantian memberantakkan beberapa recehan yang didapatnya hari ini.

"Cek…cek..cek..cek...," suara benturan koin itu beriring senada dengan ketukan music dari penjual kaset bajakan di seberang jalan. Bola matanya selalu mengikuti setiap kendaraan yang melintas di jalan jajakannya.

Pak Roto, begitu kami menyebutnya. Setiap jam 9 pagi ia sudah siap meniupkan peluitnya, peluit yang dikalungkan di leher, dengan seragam orange satu satunya yang ia miliki, dan celana gombrong berwarna abu abu muda, serta tas pinggang yang direkatkan tepat pada perpotongan kaos dan celananya untuk menyimpan setiap recehan penghasilanya. 

Ia mengatur kendaraan yang berhenti di tepi jalan Jenderal Sudirman ini, Ia tak nampak muda, tapi semangatnya mengalahkan kami yang notabene jauh di bawah usianya. 

"Badhe nyebrang nopo? (mau nyebrang mba?)" tanyanya melihat seorang pejalan kaki. 

"Nggih pak (iya pak)," jawab sang Ibu menggandeng anaknya, dan sekantong plastik ukuran sedang berisi belanjaan.

Dengan sigap Pak Roto mengontrol kendaraan dari arah Barat, mencari  luang untuk menyebrangkan sang Ibu, kemudian ditiupnya peluit untuk menghentikan laju kendaraan dari kedua sisi jalan. 

Selain tugasnya sebagai tukang parkir, Ia tak segan membantu menyebrangkan pejalan kaki. Karena ternyata tak semua orang berani menyeberang jalan sendiri.

Cukup banyak motor dan mobil yang parker kali ini, berkah baginya semakin banyak motor dan mobil terparkir di sini, maka akan semakin banyak pula penghasilan yang didapatnya. 

Ditatanya motor-motor itu dengan rapi, sedikit diangkat di bagian belakang motor bertumpu pada standar lalu digeser sedemikian rupa menjadikan kendaraan kendaraan itu berjajar dengan sisi seragam satu sama lain menghadap trotoar, persis seperti jajaran prajurit yang berbaris pada saat upacara.

Dengan begitu maka ia masih menyisakan banyak tempat untuk tempat kendaraan yang baru datang. Lalu ia duduk kembali, menjaga kuda besi yang tertata tadi.

Kemudian berlari menunaikan tugasnya ketika pengendara akan pergi, barulah 500 rupiah ia terima, terkadang ada juga yang memberikan 1000 rupiah, namun tak jarang pula pengendara yang tak mau membalas jasanya, hanya pergi tanpa mempedulikan sang penegak disiplin.

"Pak kye tulung dijagani, mbok guling (Pak, tolong ini dijaga, takut roboh)," begitu kata pengendara motor yang baru saja berhenti, selepas turun dari motornya.

"Nggih pak, niki deneng miring temen? (Iya pak, tapi ini miring sekali?)" Pak Roto menatanya, meletakannya di ujung  paling kanan dari deretan motor motor yang lain.

"Iya, ora apa-apa pak, tenang bae. (Iya, tidak apa apa pak, tenang saja),” kata pemilik  motor. Memang motor itu harus dijaga, dengan kemiringan standar seperti itu bukan hal yang tidak mungkin motor akan terguling dan menindih motor motor yang lain, dan 1 mobil di sisi paling ujung sebelah kiri.

Masih menjaga motor dengan kemiringan yang tidak biasa tadi. Pak Roto khawatir jika ditinggalkan maka apa yang ditakutkannya benar benar terjadi. Sayangnya, sang pemilik terlalu lama meninggalkan motornya, Pak Roto tak bisa berbuat hal yang lain, selain hanya menjaga saja. 

Saat ada pengendara datang, mereka memarkirkannya ditempat yang kosong, dan Pak Roto hanya bisa membiarkan saja untuk sementara ini, mendudukinya pada sisi sebelah kiri, menahan beban motor yang terlalu condong. 

Setelahnya, pengendara lain akan pergi, tugas utamanya sebagai "Pak Tukang Parkir", bukan "Pak Tukang Jaga Motor" harus ditunaikan. "Sekedap mas! (sebentar mas!)," teriaknya pada pengendara itu.  

Beberapa kali Pak Roto mencoba melepas si motor condong. Satu kali dilepas, beberapa detik kemudian hampir roboh, kedua dijaganya lagi kemudian roboh lagi, ketiga kali dicobanya lagi, melepaskan pegangannya, beberapa detik motor terlihat tetap stabil. 

Pak Roto berani meninggalkannya. Naas tak lama dari langkah pertamanya, tumpuan standar tak mampu menahan beban yang condong ke sisi kiri. "Alalah… kuwe pak," kata pengendara melihat si condong mulai meroboh,  Pak Roto menoleh.

"Alaaaaa pak…,” spontan,  teriakan orang orang di sekelilingnya, tak elak membuat mereka pontang panting menyelamatkannya, mengambil langkah selebar mungkin, menadah robohnya, atau sederet motor yang lain akan ikut roboh juga.

Tidak tertangkap dengan tepat, salah satu tangan pengendara menadah bagian dengan, dan yang lain menahan robohnya pada deret kedua, setidaknya beberapa cet tergores. Untunglah, mereka memakluminya, justru ini kesalahan pemilik si condong itu.

"Pangapuntene mas, cete madan lecet lecet niku. (maaf mas, cat motornya tergores)," Pak Roto meminta maaf pada pemilik kendaraan, karena paling tidak ia ikut andil dalam menata kendaraan kendaraan itu dengan berhimpit.

"Sampun pak, mboten nopo nopo, kamase niku sing salah kudune njaluk pangapura. Dados bapake kedah njagani motor niku tok. (Sudah pak, tidak apa-apa, ini kesalahan pemilik motor itu, dan seharusnya dia yang minta maaf),” dengan bijaksana mereka memaafkan Pak Roto, sayangnya pemilik motor condong hanya pergi tanpa sepatah katapun.

Pak Roto kembali bekerja, menggembungkan pipinya, meniup peluit dan membantu para pengendara melanjutkan perjalanan mereka masing-masing. Diusapnya keringat yang meluncur di pelipisnya. Ia tampak begitu lega kejadian tak berlarut larut. 

Cuaca siang ini begitu panas, sepertinya matahari sedang tertawa lepas, ia terlalu gembira melihat perjuangan Pak Roto tadi, paling tidak matahari pun melihat bagaimana seorang paruh baya yang tak kenal lelah ini menjalani hidupnya. 

Diteguknya air yang selalu dibawa dalam kemasan botol bekas, terkadang jika air dalam kemasan itu habis sebelum jam pulang, Pak Roto mengisinya ulang dari air keran diseberang jalan.

Kembali Pak Roto duduk di trotoar tepat di samping kanannya saluran pembuangan air lengkap dengan sampah-sampah yang sedikit menyumbatnya, melepas tudung yang melindunginya dari terik cahaya surya. 
Sembari mengikuti alunan musik dari penjual kaset bajakan, ia iringi dengan "krecekan" dari receh recehnya. Salah satu dari recehan itu terjatuh masuk ke lubang pembuangan air.

“Alaahhh.. Masya Allah," menghentikan tarian recehannya. Mencari-cari dimana letak recehan itu terjatuh.

"Mmm.. neng kana. (Di sana),” menyelipkan tanggannya di sela tralis besi yang menutupi saluran pembuangan air, ia sadar tangannya terlalu besar untuk menerobos sela sela  tralis. 

Lalu dicoba mengailnya dengan ranting tanaman, di raihnya recehan itu, di dekatkan sampai ke pangkal lubang yang tampak dari luar agar bisa diraih dengan tangan, namun tetap tak berhasil.

"Saweg nopo si pak? (sedang apa pak?)," tanya Bu Eti, penjual jajanan keliling menjajakan dagangannya pada karyawan toko sebelah.

"Niki, 500 gigal, eman eman go sangu bocah ngesuk, malah mlebu selokan. (ini, 500 rupiah jatuh, sayang bisa untuk uang saku anak-anak besok, jatuh masuk saluran pembuangan air)," masih sibuk meraih recehan, keringatnya meluncur deras, perlahan koin itu diraih, dihimpit ke dinding trotoar denga erat agar tak jatuh, barulah ia tarik ke atas, tak hanya sekali metode itu dilakukan, di tubuhnya yang renta dipaksanya untuk melentur, sedikit demi sedikit akhirnya berhasil.

"Alhamdulillah," senyumnya merekah, di tangan blepotan itu sebuah koin dengan erat ia pegang. Mengusap keringat dengan sapu tangan yang mengalung di lehernya. Menyadari pejalan kaki memperhatikannya, Pak Roto hanya tersenyum. 

Pak Roto mempersiapkan armadanya, sepeda jengki tua, beberapa barang bawaannya, tudung, beserta topinya yang bertuliskan ‘tut wuri handayani’ berwarna biru tua dan botol kosong dari air minum yang dihabiskannya tadi.

Pukul 4.55 sore ia kembali ke rumahnya, berganti pakaian berkerah biru tua, berpamitan pada pemarkir-pemarkir lain. Senyumnya masih merekah, bersiap untuk memberikan hasil jerih payahnya pada anggota keluarga di rumah. 

Dengan ‘recehan’ yang susah payah ia raih dari saluran pembuangan air itu. Yang ia tahu adalah, semua hal menjadi berarti saat itu diperuntukkan untuk orang-orang yang dicintainya, keluarga kecil yang menantinya.

Karya: Anggar D.A Putri

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya sudah lama menunggu karya-karya yang membumi seperti ini. Tidak berlebihan, tapi bermakna. Cerita orang kecil memang selalu "lebih menarik" perhatian saya. Good work :D

MAKSA! mengatakan...

Terimakasih atas responnya. Semoga Kelas Menulis Purbalingga terus punya semangat untuk bercerita dan mengguncang Kota Perwira Purbalingga :)

Posting Komentar