Selasa, 14 Mei 2013

Menjadi Kayu Bakar [Juara I SCMP 2013]


Hari terasa semakin sore, cahaya mentari beralih ke ufuk barat, gerimis tadi pagi menyisakan becek di sepanjang jalan. Tak luput genangan air memenuhi jalanan kota perwira.

Aku berjalan seorang diri, dibalut seragam kerja dan jins hitam yang melekat di tubuhku, pikiranku tak karuan buyar, seperti teve kuno di rumah, yang jika dinyalakan hanya semut-semut kecil yang terlihat.

“Bagaimana kamu ini! Tidak becus jadi sensir!” Terdengar suara keras lelaku bertubuh tinggi kurus dengan rambutnya yang sedikit beruban.

“Jika sampai bulan depan hasil tidak bisa diperbaiki, kamu saya cabut jadi sensir!” tambahnya yang semakin mengerutkan semangatku.

Tak pernah aku melihat ia semarah itu. Meskipun hampir setahun penuh aku bekerja padanya tak pernah ia berkata kasar padaku, bahkan meja kerja melayang dibantingnya.

Aku tak banyak bicara menghadapi kemarahan atasanku. Toh, semua memang salahku. Aku itu seperti dua sisi koin yang tak mungkin sehadap. Satu sisi aku harus bertindak tegas pada anak buahku. Yang tentunya, hasil tak layak jangan sekali kali kukirim. 

Tapi satu sisi aku iba melihat mata anak buahku, tak tega seharian mereka duduk, menggunting helai demi helai bulu mata dengan model yang tak mudah untuk dipelajari, ternyata dibuang percuma tak layak kirim.

“Kalau hasil mereka tak layak kirim, ya jangan dikirim, kau pikir perusahaan ini milik nenek moyangmu!” gertak lelaki beruban siang tadi. Masih begitu jelas di pikiranku.

“Ya Pak. Saya akan coba perbaiki hasil” ucapku lusuh siang tadi saat meninggalkan ruangan.

Mungkin hari ini memang telah berlalu, tapi esok aku harus menghadapi segala kemungkinan yang belum aku tahu kan seperti apa hari esok.

Berjalan sendiri di sore yang berhias rintik hujan ternyata tak mampu menghalau kegelisahanku. Aku harus bisa bersabar melatih anak buahku di setiap model bulu mata yang setiap hari berganti model.

“Ternyata tak semudah khayalanku,” bisiku pada rintik hujan, mengeluh akan apa yang terjadi.

Tak mudah menjadi kayu bakar untuk anak buahku, yang setiap saat mengeluh dan mengeluh. Setiap hari aku harus menyalakan api mereka, hingga tungku mereka menyala dengan adanya aku.

“Mbak lah, susah banget nggak bias,” keluh suara yang menjadi kawan hari hariku. Jika aku padam, bagaimana dengan mereka, aku harus menjadi kayu bakar agar tungku mereka menyala.

Hidup di kota yang terkenal akan pabrik bulu mata dan wig ini ternyata satu titik hitam bagi mereka yang sulit belajar dan beradaptasi akan semua itu.

“Aku yakin. Aku bisa melatih mereka!” ucapku tegas melawan rintik yang kian deras. Langkahku kini tak boleh goyah sekalipun. Hujan kan lebih deras di depanku.

Tinggal di Desa Kebutuh, Kecamatan Bukatejas

0 komentar:

Posting Komentar