Minggu, 10 Juni 2012

Romantisme Buruh Dalam Puisi (1)

Malam minggu (9/6) kemarin, Kelas Menulis Purbalingga membuat persembahan kecil bertajuk Pentas Puisi; Perempuan Kuru Berbaju Biru. Acara itu bertempat di Kafe Pedangan, Purbalingga.

Pentas itu dibuka dengan puisi “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana” karya Gus Mus yang dibacakan apik oleh mentor Kelas Menulis, Bangkit Wismo. Selanjutnya, secara maraton dibacakan 12 karya puisi oleh empat anggota Kelas Menulis, yakni Alfy Aulia, Fitri Arumsari, Feri Fajar, dan Yuli Widyaningsih.

Dua belas Puisi tersebut mengilhami cerita mini “Bu Ruh” buatan Alfy Aulia. Cerita mini tentang keluarga Ruhyati yang tengah hamil tua tapi harus tetap bekerja demi menyambut kelahiran si jabang bayi.

Ada Fitri dengan puisi “Generasi Sampah” yang penuh penghayatan, Feri dengan “Dia Anakku, Bukan Buruh”. Yuli dengan “Sang Pemuja”, dan terakhir Alfy Aulia dengan puisi “Kasmaran” yang dibawakan manja.

Dari keempat penampil, Yulilah yang mendapat paling banyak jempol. Kekakuan dan kepolosannya justru melahirkan greget tersendiri.

Yuli yang baru pertama itu tampil memang kesehariannya bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik pembuat rambut palsu di Purbalingga.

“Jadi buruh tapi masih sempat menulis. Baca puisinya juga menghayati banget,” puji Fajar Rahmawati, pegiat perkumpulan kaum muda Purbalingga bernama Jong Pebege.

Sedangkan Igo Saputra, pemilik Kafe Pedangan, berharap seharusnya dihadiri lebih banyak orang agar lebih banyak pula yang tercerahkan. “Publikasi seharusnya lebih digalakan lagi,” tuturnya.

Di akhir sesi apresiasi, Alfy Aulia pun mencetuskan, “Semoga setelah ini muncul ’sesuatu-sesuatu’ yang lain yang bisa mewarnai Purbalingga.”
Fitri Arumsari membacakan puisinya dengan penuh pengkhayatan.
Keempat penampil saat sesi apresiasi.

0 komentar:

Posting Komentar