Karena pendidikan mahal dan gaji
buruh tidak bisa untuk mengaksesnya, maka
terjadilah buruh melahirkan buruh atau disebut juga reproduksi kelas.
Hal ini juga disebabkan oleh sistem pendidikan yang hanya mementingkan daya
saing dan mencetak pekerja, bukan pendidikan yang bersifat ilmiah, demokratis,
dan mengabdi kepada masyarakat.
Yang perlu bertanggung jawab
untuk masalah ini yang pertama adalah Pemerintah. Pemerintah seharusnya
memprioritaskan pendidikan yang terjangkau untuk meningkatkan kualitas masyarakat,
termasuk buruh. Tidak malah melempar tanggung jawab. Dengan rendahnya kualitas
untuk bisa bersaing di pasar tenaga kerja, Pemerintah dan kalangan pengusaha
justru mengeluhkan rendahnya produktivitas buruh Indonesia dibandingkan
buruh-buruh di Vietnam atau Cina sebagai faktor yang membuat Indonesia tidak
kompetitif. Terlihat bahwa kebijakan Pemerintah hanya mengutamakan kepentingan
industri, bukan pendidikan.
Selanjutnya, lembaga pendidikan,
keluarga, dan anak-anak sendiri sebenarnya dituntut untuk tidak ikut-ikutan
dengan sifat Pemerintah tersebut. Kita selayaknya tetap memiliki semangat dan
tujuan yang kuat dalam memaknai pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan
mengabdi kepada masyarakat.
Pendidikan ilmiah, demokratis,
dan mengabdi kepada masyarakat merupakan hal mendesak dalam dunia pendidikan.
Makna demokratis dan ilmiah di sini bukan saja dalam makna hubungan struktural
antara birokrasi dan civitas akademika lainnya, melainkan pendidikan haruslah
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Artinya, dunia pendidikan tidak boleh
dilepaskan dari induknya, yaitu masyarakat. Dunia pendidikan harus mengabdi
pada masyarakat dan bukan sebaliknya.
Dalam berbagai kasus yang terjadi
terlihat bahwa pendidikan cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat.
Pendidikan disamaratakan untuk berbagai kalangan, padahal basis sosialnya jelas
berbeda. Ini tidak saja terlihat dalam pola biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat juga pada model kurikulum yang disediakan untuk masyarakat.
Kurikulum sebaiknya disesuaikan dengan kondisi nyata masyarakat sehingga jurang
sosial yang terjadi dapat diperkecil.
Tentu saja persoalan pendidikan
di atas tidak akan mungkin dilakukan tanpa Pemerintah yang mau serius mengubah
orientasi politiknya. Dalam hal ini kita membutuhkan sebuah Pemerintah yang
berani bersikap dan bertindak sesuai dengan kepentingan rakyat. Pemerintah harus
mampu menjelaskan kepada IMF dan Bak Dunia bahwa kebutuhan nyata masyarakat
saat ini adalah untuk mempersenjatai dirinya dengan membentuk generasi muda
yang tangguh dan kritis. Dengan begitu tidak ada lagi alasan yang kuat dari IMF
dan Bank Dunia untuk menolak pemberlakuan pendidikan gratis di Indonesia. Dunia
pendidikan, terutama yang ideal, harus menjadi prioritas.
Pendidikan yang ideal adalah
pendidikan yang membentuk generasi yang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur,
yang cerdas, yang demokratis, dan bertanggung jawab. Sayangnya, sistem pendidikan Indonesia sekarang lebih
menonjolkan aspek keilmuan, dan tidak memberikan pengajaran yang seimbang dalam
pembentukan akhlak mulia.
Pendidikan yang ideal juga tentu
saja bukan pendidikan yang memberatkan dalam hal biaya. Untuk mendapatkan
pendidikan yang kualitasnya baik, memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit,
tetapi bagaimanapun pendidikan harus tetap menjadi Pemerintah. Terutama bagi
warga miskin yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Kembali menyoal buruh, terutama
di Purbalingga, taraf pendidikan yang rendah memang menyebabkan buruh rentan dengan
eksploitasi. Pemodal/ investor bahkan Pemerintah menjadi lebih mudah membodohi
mereka. Contoh pelanggaran pemodal/ investor dan Pemerintah terhadap buruh di
Purbalingga antara lain kondisi upah yang memprihatinkan, waktu kerja yang
berlebihan, ketiadaan jaminan kerja dan kesehatan, dan sederet
ketidaksejahteraan buruh lainnya. Investor asing asal Korea yang menanamkan
modalnya dan mendirikan pabrik-pabrik bulu mata dan rambut palsu (wig) di
Purbalingga hanya ingin mencari buruh murah untuk mendapatkan laba yang besar
tanpa memikirkan kesejahteraan mereka.
Sedangkan Pemerintah Kabupaten
Purbalingga dengan slogan pro-investasinya juga malah membuat produk kebijakan
yang mengutamakan investor asing dan menyudutkan buruh. Antara lain Perda No. 1
tahun 2011 tanggal 15 Maret 2001 tentang Peningkatan Kegiatan Investasi dan
Keputusan Bupati No. 27 Tahun 2002 tentang Rencana Pembangunan Perekonomian
Kab. Purbalingga.
Kedua kebijakan yang
menguntungkan pihak kapitalis ini, membuat posisi tawar (bargaining position)
buruh menjadi semakin lemah dan tidak memiliki akses memperjuangkan kepentingan
dan haknya. Akibatnya upah kerja yang layak, perlindungan hukum, serta jaminan
kerja hanya menjadi isapan jempol belaka.
Satu lagi fenomena buruh di
Purbalingga adalah lebih banyaknya buruh perempuan ketimbang laki-laki yang
diserap kerja di pabrik dan plasma (tempat membuat bulu mata dan rambut palsu
(wig) di desa-desa). Data tahun 2008 menyebutkan, dari 6705 tenaga kerja yang
terserap di perusahaan lokal Purbalingga, 6386 diantaranya merupakan tenaga
kerja perempuan. Keadaan ini cukup banyak dipengaruhi oleh adanya bias gender
yang selama ini mengakar dalam masyarakat. Kebijakan pembukaan lapangan kerja
di Purbalingga hanya memfokuskan pada pekerja perempuan. Sehingga yang
dibutuhkan untuk mengisi lowongan di sebagai karyawan pabrik hanya perempuan.
Hal ini karena asumsinya pekerjaaan membuat bulu mata dan
rambut palsu memerlukan ketelatenan, ketelitian, kerapian dan kesabaran yang
cukup tinggi. Dan hanya perempuanlah yang dianggap cocok untuk melakoni
pekerjaan itu karena perempuan itu lembut, sabar, teliti, sedangkan laki-laki
tidak. Masyarakat menganggap jika
pekerjaan seperti itu dilakukan oleh laki-laki hasilnya tidak akan sebagus jika
dikerjakan oleh perempuan. Padahal sebenarnya tidak selalu seperti itu.
Anggapan bias gender yang demikian nampaknya sudah mendarah
daging dalam masyarakat. Sehingga Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan
pun pastilah berpikir dan mengacu demikian. Penerapan kebijakannya pasti
berdasar pada anggapan masyarakat banyak. Akibatnya yang dibutuhkan untuk
bekerja sebagai pekerja pabrik hanya perempuan. Karena citra perempuan yang
sudah dikonsktruksi oleh masyarakat tadi, memenuhi syarat sebagai pekerja
pabrik.
Akibatnya, sekarang kaum laki-laki Purbalingga menjadi
semakin sulit mendapatkan kerja di daerah sendiri. Banyak kaum lelaki yang
terpaksa bekerja ke luar kota, kerja serabutan atau menganggur di rumah.
Sehingga kemudian marak istilah Pamong Praja, papa momong mama kerja (ayah
merawat anak, ibu bekerja). Kondisi ini jika dibiarkan terus tentu bisa
menimbulkan banyak masalah sosial-keluarga.
Untuk mengatasi ini, semestinya Pemerintah Daerah harus
lebih sensitif lagi dalam merumuskan kebijakan, yaitu sensitif dalam hal
gender. Pemerintah harus lebih peka dalam memperhatikan faktor-faktor lain yang
mendukung pembangunan dan ketenaga kerjaan selain faktor ekonomi belaka. Kedepannya,
haruslah tersedia lapangan kerja yang berimbang, antara laki-laki dan juga
perempuan. Agar tujuan pembangunan yang dicita-citakan bisa tercapai tanpa
“menggusur” salah satu pihak untuk memperoleh pekerjaan.
Selain itu, hak-hak istimewa untuk
buruh perempuan, yaitu hak cuti hamil dan melahirkan serta hak libur saat haid
juga tidak boleh lagi diabaikan. Ini semua demi mengusahakan nasib buruh
Purbalingga yang lebih makmur. Yaitu buruh yang mendapatkan upah layak, jam
kerja proporsional, jaminan kerja dan kesehatan serta dipenuhi kesejahteraan
dan hak-hak khususnya. (Alfy Aulia)
Referensi:
0 komentar:
Posting Komentar