Rabu, 09 Mei 2012

Hubungan Pendidikan Mahal dan Buruh Murah

Buruh dan mahalnya pendidikan memiliki hubungan yang tidak menguntungkan dan tidak akan putus tanpa usaha untuk memperbaikinya. Mahalnya biaya pendidikan membuat daya tawar kaum buruh menjadi sangat rendah dan rentan eksploitasi bahkan kekerasan. Rata-rata pendidikan buruh, terutama perempuan Indonesia 83% hanya mengantongi ijazah SMP, SD atau tidak berijazah sama sekali, sisanya 14,9% tamat SMA, dan 2,8% tamat diploma dan strata 1-3. Selain tidak mampu membayar biaya sekolah, motivasi anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan juga dihambat oleh konservatisme keluarga yang patriarkis, dimana anak laki-laki yang harus diprioritaskan.

Karena pendidikan mahal dan gaji buruh tidak bisa untuk mengaksesnya, maka  terjadilah buruh melahirkan buruh atau disebut juga reproduksi kelas. Hal ini juga disebabkan oleh sistem pendidikan yang hanya mementingkan daya saing dan mencetak pekerja, bukan pendidikan yang bersifat ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada masyarakat.

Yang perlu bertanggung jawab untuk masalah ini yang pertama adalah Pemerintah. Pemerintah seharusnya memprioritaskan pendidikan yang terjangkau untuk meningkatkan kualitas masyarakat, termasuk buruh. Tidak malah melempar tanggung jawab. Dengan rendahnya kualitas untuk bisa bersaing di pasar tenaga kerja, Pemerintah dan kalangan pengusaha justru mengeluhkan rendahnya produktivitas buruh Indonesia dibandingkan buruh-buruh di Vietnam atau Cina sebagai faktor yang membuat Indonesia tidak kompetitif. Terlihat bahwa kebijakan Pemerintah hanya mengutamakan kepentingan industri, bukan pendidikan.

Selanjutnya, lembaga pendidikan, keluarga, dan anak-anak sendiri sebenarnya dituntut untuk tidak ikut-ikutan dengan sifat Pemerintah tersebut. Kita selayaknya tetap memiliki semangat dan tujuan yang kuat dalam memaknai pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada masyarakat.

Pendidikan ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada masyarakat merupakan hal mendesak dalam dunia pendidikan. Makna demokratis dan ilmiah di sini bukan saja dalam makna hubungan struktural antara birokrasi dan civitas akademika lainnya, melainkan pendidikan haruslah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Artinya, dunia pendidikan tidak boleh dilepaskan dari induknya, yaitu masyarakat. Dunia pendidikan harus mengabdi pada masyarakat dan bukan sebaliknya.

Dalam berbagai kasus yang terjadi terlihat bahwa pendidikan cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat. Pendidikan disamaratakan untuk berbagai kalangan, padahal basis sosialnya jelas berbeda. Ini tidak saja terlihat dalam pola biaya yang harus dikeluarkan masyarakat juga pada model kurikulum yang disediakan untuk masyarakat. Kurikulum sebaiknya disesuaikan dengan kondisi nyata masyarakat sehingga jurang sosial yang terjadi dapat diperkecil.

Tentu saja persoalan pendidikan di atas tidak akan mungkin dilakukan tanpa Pemerintah yang mau serius mengubah orientasi politiknya. Dalam hal ini kita membutuhkan sebuah Pemerintah yang berani bersikap dan bertindak sesuai dengan kepentingan rakyat. Pemerintah harus mampu menjelaskan kepada IMF dan Bak Dunia bahwa kebutuhan nyata masyarakat saat ini adalah untuk mempersenjatai dirinya dengan membentuk generasi muda yang tangguh dan kritis. Dengan begitu tidak ada lagi alasan yang kuat dari IMF dan Bank Dunia untuk menolak pemberlakuan pendidikan gratis di Indonesia. Dunia pendidikan, terutama yang ideal, harus menjadi prioritas.

Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang membentuk generasi yang berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, yang cerdas, yang demokratis, dan bertanggung jawab. Sayangnya,  sistem pendidikan Indonesia sekarang lebih menonjolkan aspek keilmuan, dan tidak memberikan pengajaran yang seimbang dalam pembentukan akhlak mulia.

Pendidikan yang ideal juga tentu saja bukan pendidikan yang memberatkan dalam hal biaya. Untuk mendapatkan pendidikan yang kualitasnya baik, memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi bagaimanapun pendidikan harus tetap menjadi Pemerintah. Terutama bagi warga miskin yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Kembali menyoal buruh, terutama di Purbalingga, taraf pendidikan yang rendah memang menyebabkan buruh rentan dengan eksploitasi. Pemodal/ investor bahkan Pemerintah menjadi lebih mudah membodohi mereka. Contoh pelanggaran pemodal/ investor dan Pemerintah terhadap buruh di Purbalingga antara lain kondisi upah yang memprihatinkan, waktu kerja yang berlebihan, ketiadaan jaminan kerja dan kesehatan, dan sederet ketidaksejahteraan buruh lainnya. Investor asing asal Korea yang menanamkan modalnya dan mendirikan pabrik-pabrik bulu mata dan rambut palsu (wig) di Purbalingga hanya ingin mencari buruh murah untuk mendapatkan laba yang besar tanpa memikirkan kesejahteraan mereka.

Sedangkan Pemerintah Kabupaten Purbalingga dengan slogan pro-investasinya juga malah membuat produk kebijakan yang mengutamakan investor asing dan menyudutkan buruh. Antara lain Perda No. 1 tahun 2011 tanggal 15 Maret 2001 tentang Peningkatan Kegiatan Investasi dan Keputusan Bupati No. 27 Tahun 2002 tentang Rencana Pembangunan Perekonomian Kab. Purbalingga.

Kedua kebijakan yang menguntungkan pihak kapitalis ini, membuat posisi tawar (bargaining position) buruh menjadi semakin lemah dan tidak memiliki akses memperjuangkan kepentingan dan haknya. Akibatnya upah kerja yang layak, perlindungan hukum, serta jaminan kerja hanya menjadi isapan jempol belaka.

Satu lagi fenomena buruh di Purbalingga adalah lebih banyaknya buruh perempuan ketimbang laki-laki yang diserap kerja di pabrik dan plasma (tempat membuat bulu mata dan rambut palsu (wig) di desa-desa). Data tahun 2008 menyebutkan, dari 6705 tenaga kerja yang terserap di perusahaan lokal Purbalingga, 6386 diantaranya merupakan tenaga kerja perempuan. Keadaan ini cukup banyak dipengaruhi oleh adanya bias gender yang selama ini mengakar dalam masyarakat. Kebijakan pembukaan lapangan kerja di Purbalingga hanya memfokuskan pada pekerja perempuan. Sehingga yang dibutuhkan untuk mengisi lowongan di sebagai karyawan pabrik hanya perempuan.

Hal ini karena asumsinya pekerjaaan membuat bulu mata dan rambut palsu memerlukan ketelatenan, ketelitian, kerapian dan kesabaran yang cukup tinggi. Dan hanya perempuanlah yang dianggap cocok untuk melakoni pekerjaan itu karena perempuan itu lembut, sabar, teliti, sedangkan laki-laki tidak.  Masyarakat menganggap jika pekerjaan seperti itu dilakukan oleh laki-laki hasilnya tidak akan sebagus jika dikerjakan oleh perempuan. Padahal sebenarnya tidak selalu seperti itu.

Anggapan bias gender yang demikian nampaknya sudah mendarah daging dalam masyarakat. Sehingga Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan pun pastilah berpikir dan mengacu demikian. Penerapan kebijakannya pasti berdasar pada anggapan masyarakat banyak. Akibatnya yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai pekerja pabrik hanya perempuan. Karena citra perempuan yang sudah dikonsktruksi oleh masyarakat tadi, memenuhi syarat sebagai pekerja pabrik.

Akibatnya, sekarang kaum laki-laki Purbalingga menjadi semakin sulit mendapatkan kerja di daerah sendiri. Banyak kaum lelaki yang terpaksa bekerja ke luar kota, kerja serabutan atau menganggur di rumah. Sehingga kemudian marak istilah Pamong Praja, papa momong mama kerja (ayah merawat anak, ibu bekerja). Kondisi ini jika dibiarkan terus tentu bisa menimbulkan banyak masalah sosial-keluarga.

Untuk mengatasi ini, semestinya Pemerintah Daerah harus lebih sensitif lagi dalam merumuskan kebijakan, yaitu sensitif dalam hal gender. Pemerintah harus lebih peka dalam memperhatikan faktor-faktor lain yang mendukung pembangunan dan ketenaga kerjaan selain faktor ekonomi belaka. Kedepannya, haruslah tersedia lapangan kerja yang berimbang, antara laki-laki dan juga perempuan. Agar tujuan pembangunan yang dicita-citakan bisa tercapai tanpa “menggusur” salah satu pihak untuk memperoleh pekerjaan.

Selain itu, hak-hak istimewa untuk buruh perempuan, yaitu hak cuti hamil dan melahirkan serta hak libur saat haid juga tidak boleh lagi diabaikan. Ini semua demi mengusahakan nasib buruh Purbalingga yang lebih makmur. Yaitu buruh yang mendapatkan upah layak, jam kerja proporsional, jaminan kerja dan kesehatan serta dipenuhi kesejahteraan dan hak-hak khususnya. (Alfy Aulia)

Referensi:







0 komentar:

Posting Komentar