Kamis, 04 Juli 2013

Berbagi Dosa [Bagian Pertama]


Malam ini malam ketiga pasar malam di lapangan desa sebelah. Cahyo sudah bersemangat sekali mendatanginya setelah kemarin malam hujan, dan malam sebelumnya lagi belum diizinkan ibunya. Ia sudah janjian dengan Usman dan Rohim, dua sahabatnya yang sama-sama suka nyruntul pulang duluan usai sholat isya di masjid. Lebih-lebih kali ini, baru juga selesai salam, ketiga anak yang baru naik kelas 3 SD itu langsung berhambur keluar masjid dan berkejaran di jalan.

Mereka tidak ragu berangkat ke pasar malam bertiga saja karena di jalan banyak pula orang yang hendak mengunjungi tempat hiburan rakyat tersebut, mulai dari sesama anak-anak dan orang tuanya, muda-mudi, bahkan beberapa kaki-nini. 

Usman yang berjalan paling depan lalu memamerkan uang 40 ribu yang ia dapat dari bapaknya, juragan ayam. Ia bilang uang itu akan ia belikan lampu stick alias lampu hias warna-warni, arum manis, mobil-mobilan, martabak, dan donat.

Sementara Rohim yang hanya diberi uang 15 ribu hanya ingin beli lampu stick dan martabak. Cahyo lalu merogoh saku celananya, ia juga diberi 10 ribu oleh ibunya, itupun setelah memaksa sejak siang. Ibunya bilang ia hanya punya uang untuk beli buku tulis baru untuk Cahyo. Namun, Cahyo merengek tahun ajaran baru ini tidak pakai buku tulis baru pun tak apa.

Cahyo menimang-nimang apa yang akan ia beli dengan uang 10ribu di genggamannya. Lampu stick? Martabak? Mobil-mobilan? Memang harga masing-masingnya berapa, pikir Cahyo.

“Ah, lihat saja nanti!” batin Cahyo sambil mengejar kedua temannya yang sudah berlarian menyambut kelap-kelip pasar malam. Ada banyak pedagang: baju, makanan, aksesoris, mainan, CD bajakan, bahkan obat. Ada undar persis di tengah-tengah, tong setan di pojokan, rumah hantu di pojok lainnya, dan odong-odong di banyak sudut. Ramai.

Pengunjung berjubel, apalagi bertepatan dengan musim liburan sekolah. Cahyo takjub dengan suasana pasar malam itu, begitu pula Usman dan Rohim. Usman segera menggeret Rohim ke tukang mainan. Cahyo mengikuti di belakang. Mereka memang lebih tertarik untuk membeli mainan dan makanan daripada naik undar atau sebagainya yang justru jadi ciri khas pasar malam.

Usman dan Rohim sibuk mengagumi lampu stick yang tergantung warna-warni. Mereka lalu memanggil si penjual, menunjuk-nunjuk, dan membayar. Mereka tersenyum puas, memencet sebuah tombol di ujung stick untuk menjajal aneka variasi nyala dari stick lampu tersebut. “Keren!” sepakat mereka. 

Cahyo memandanginya iri. Memang benar-benar keren, apalagi kalau dibawa mengaji. Bakal menyala bagus pas di jalan yang gelap, bayangnya.


Harga stick lampu tersebut 10 ribu rupiah. Jika ia membelinya, maka habislah uangnya. Padahal kedua temannya itu pasti masih akan membeli berbagai macam barang dan makanan. Benar saja, Usman segera menghampiri bakul arum manis, membelinya sebuah. Ia mencomotnya dan memasukkan sejumput besar makanan seperti kapas itu ke mulutnya. 

Rohim ikut mencomot sedikit, memejamkan mata. “Hmm, rasanya lumer di mulut!” katanya. Ketika akan mencomot lagi, Usman menabok tangannya. “Beli sendiri!” Bocah bertubuh agak gempal itu memang kadang pelit soal makanan, terutama yang disukainya. Jadilah Cahyo hanya menelan ludah.

Kedua bocah itu lalu mengikuti Rohim membeli martabak. Harganya 5 ribu sebuah dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Rohim tampak kecewa memandanginya, ia membayangkan martabak besar tebal dan penuh kacang seperti yang kadang liliknya oleh-olehkan. Tapi Rohim tetap memakannya. Bahkan ia mencubitkan sedikit untuk Cahyo dan Usman. 

Cahyo yang baru pertama kali itu makan martabak kagum dengan rasanya, empuk dan manis. Ia jadi ingin beli. Tapi... Ia berfikir lagi. Lampu stick itu terlalu keren untuk tidak dibeli juga. Bagaimana ya, bingungnya. bersambung .... [Alfy Aulia]

0 komentar:

Posting Komentar