Kamis, 04 Juli 2013

Abi


"Assalamualaikum anak abi, nanti pulang kerja abi jemput ya.. kebetulan abi lagi ditempat om vion". Pesan singkat yang aku terima dari Abi. Aku jawab saja dengan kata "iya". Singkat dan selesai.

Kerjaan di kantor hari ini cukup membuat mataku memerah. Mengejar deadline. Huh… mataku perih melihat huruf-huruf ini menari di komputerku. Beberapa saat lagi Abi pasti datang. Dia akan tetap menjemputku walaupun dia sedang sibuk mengatar katering.

“Abi tadi baru nganter katering ke rumah Om Vion, kata Om Vion anaknya mau dikhitan, minggu depan kita diundang untuk acara syukuran di rumahnya” Abi membuka pembicaraan. Matanya tetap focus menyetir mobil. 

Aku diam, hanya mengangguk tanda “iya”. Seperti itulah komunikasiku dengan Abi. Abi tak pernah marah dengan caraku ini, dia mengerti kondisiku yang terbatas.

Seandainya aku bisa, aku ingin mengatakan pada Abi. Abi adalah sosok ayah yang luar biasa. Apa yang tidak dilakukan Abi untukku. Semuanya Abi lakukan, mengantar aku berangkat kerja, menjemputku pulang, mengingatkanku untuk makan saat jam makan siang dan banyak hal yang tidak dilakukan Ayah lainnya kecuali Abi.

****

Aku masih jengkel pada Abi, selama ini aku hanya bisa diam. Pernah sekali aku mengingatkan Abi, tapi hanya nanti, nanti, dan nanti saja yang Abi ucapkan. Terkadang aku merasa Abi adalah sosok  Ayah terbaik di dunia. Tapi terkadang juga merasa bahwa dia bukanlah imam yang baik di keluarga ini.

Allah memberiku hal istimewa. Aku dan Nera adikku adalah karunia terbesar bagi Umi dan Abi. Lalu bagaimana mungkin aku bisa marah pada Abi, sedangkan Abi telah memberikan segalanya untukku.

Tidak, tidak dengan kali ini. aku hidup selama 18 tahun, dan Abi tidak pernah mengajarkanku sama sekali.

“(Abi, sudah ada yang memanggil kita)” ajakku pada Abi dengan bahasaku.

“Iya, Kakak duluan saja. Abi menyusul nanti” tanpa memalingkan, Abi masih sibuk dengan ponselnya.

****

Mataku menatap Umi, punggung tangannya ku cium.

“Novi, sudah siap belum? Ayo berangskat” suara nyaring Abi di garasi terdengar. Aku bergegas. Meraih tangan Nera dan ku sentuhkan pada dahinya.

“Ati-ati Ka…” teriak Nera. Tanganku mengusap kepalanya yang tertutup hijab.

Abi terlihat sangat siap mengantarku. Aku hanya tersenyum menatap Abi. Jaket dan tas, Abi sudah menyiapkannya sebelum berangkat. Ku raih tas berwarna gelap dan corak bunga putih disisi kirinya, serta jaket tebal pemberian Om Vion saat pulang dari Bandung kemarin.

“Sudah siap?” tanya Abi. Aku mengangguk tanda “(iya)”. Abi mengatarku sampai ke kantor. Tidak seperti biasanya, Abi hanya pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa untukku.

“(Abi, Nera kerja dulu. Assalamualaikum)” ku kecup punggung tangan Abi saat masih di dalam mobil.

****

Ponselku berdering, ada pesan masuk.

“Assalamualaikum, anak Abi sudah siap pulang? Abi lagi ditempat Om Vion” Abi.

“walaikumsalam bi, Novi pulang terlambat, masih ada tugas yang belum selesai”

“oke, abi menunggu di tempat Om Vion ya”

“Iya bi”

Hujan masih belum berhenti, Abi fokus menyetir. Tidak ada percakapan sebelumnya. Abi bilang belum pamitan dengan Umi setelah mengantar katering. Umi pasti sangat khawatir, aku tidak bisa mengirim pesan pada Nera karena baterai ponselku habis.

Ku isyaratkan meminjam ponsel Abi. Abi tidak mengerti. Ini hari Jumat. Hari Jumat yang menyebalkan. Marah pada Abi. Aku tahu, Abi tidak mengikuti sholat jumat tadi. Untuk kesekian kalinya Abi melakukan hal yang sama.

****

Umi menunggu di pintu depan. Menanti kedatanganku. Tanpa tahu aku pulang bersama Abi. Segera setelah Abi turun dari mobil, Umi bergegas ke kamar. Membanting pintu dengan keras.

Abi masuk dalam kamar. Entah apa yang mereka bicarakan. Suara Umi meninggi. Aku dan Nera tidak mendengar suara Abi. Hanya sesekali Abi menjelaskan keterlambatannya pulang tanpa memberitahu Umi leibh dulu.

Umi khawatir, Nera juga khawatir, Abi tidak memberi kabar sedikitpun.

“(Kami ingin Abi menjadi Imam kami bi)” isyaratku saat Abi keluar dari kamar dengan muka lesu. Bersalah pada kami. Yah, memang seharusnya Abi mengerti Umi yang paling mengkhawatirkan Abi.

Abi hanya diam, ia berjalan ke sumur belakang. Tidak terpikir, kali waktu terasa sangat panjang. Tidak ada yang mampu meredam emosi Umi.

“(sssttt…)” ku acungkan jari telunjukku mendekati bibir.

“(abi sedang sholat)” Umi ku tuntun untuk menilik yang terjadi di dalam kamar.

Umi meneteskan air mata. Setelah ia menengok kamar lewat celah pintu yang terbuka. Memastikan yang baru saja ku sampaikan.

“(Umi kenapa?)” isyaratku bertanya. Umi menatapku dengan mata yang jujur. Aku tersenyum, dan Nera memeluk Umi. Alhamdulillah hidayah datang untuk Abi. Setelah sekian lama kami menunggu hidayah dari Allah datang untuknya. Setela hampir berpuluh-puluha tahun terakhir, untuk yang pertama kalinya Abi melaksanakan sholat lagi.

Kami terdiam, menunggu Abi keluar dari kamar. Secangkir kopi untuk Abi sudah ada di meja. Nera yang membuatnya untuk Abi. Aku beranjak, menuju ke kamar, meninggalkan Umi yang masih memeluk Abi.

“(Abi)” ku sentuk pundak Abi. Memberikan benda paling berharga yang Eyang berikan.

“(untuk Abi, dari Eyang. Waktu Abi pergi ziarah ke makam wali waktu itu)”  Al Qur’an dari Eyang, tanggung jawab Abi untuk kami bertiga. Menuntun Abi, menjadi Imam yang sebenarnya untuk kami. Hadiah terbesar untuk Abi. [Anggar Dana Antika Putri]

0 komentar:

Posting Komentar