Suara
langkah kaki itu semakin cepat. Alas sepatu yang keras membuat bunyi yang cukup
nyaring. Kedua tangan kurusku mendekap erat kedua kakiku. Berharap dapat
meredam gemetar hebat tubuhku. Suara itu semakin mendekat. Tuhan, aku mohon
jangan biarkan dia menemukanku. Jangan biarkan hal mengerikan itu terjadi
padaku.
BRAK!!! Keringat dingin makin deras
membasahi tubuhku. Lemari kayu tempat aku bersembunyi serasa menjadi
transparan. Rasa takutku kian membuncah. Langkah kaki itu mantap mendekat
dengan tempatku meringkuk sekarang.
“Asep! Sudahlah. Lupakan saja cewek
sialan itu.” Suara seorang laki-laki memanggilnya. Mungkin kawannya. Aku tidak
peduli siapa laki-laki yang memanggilnya. Yang aku harapkan sekarang laki-laki
bajingan bernama Asep itu meninggalkan ruangan ini segera. Melupakan
keberadaanku dan tak pernah muncul di depanku lagi.
“Si bagong mbawa cewek baru lagi.
Lebih sip,” lanjut laki-laki tadi. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, laki-laki
bernama Asep itu berjalan menjauh. Walau perlahan, namun aku yakin dia keluar
dari ruangan ini.
Kuncup-kuncup mentari merekah dari
selangkangan fajar. Membuka hari ini dengan indah. Titik-titik embun yang
menggelanyut manja pada pucuk daun talas berkilau indah. Gemericik air sungai
yang berwarna hijau bening merupakan irama merdu di kala pagi. Kicau burung
gereja di dahan pohon randu menambah semarak awal hari ini. Seruni melangkahkan
kakinya dengan hati-hati. Kedua tangannya erat mendekap bakul cucian. Matanya
dengan awas memperhatikan tanah lempung yang telah tertutup lumut di bawahnya.
“Nak Seruni, hari ini menggantikan
Simbok nyuci baju ya?” Seorang ibu paruh baya memperhatikan sekilas kedatangan
Seruni. Tangannya yang semula sibuk mencuci pakaian, sejenak membenahi kain
jarit yang membalut tubuhnya.
“Iya. Simbok kurang sehat, jadi saya
yang mencuci pakaian,” jawab Seruni yang kini sudah ikut masuk ke sungai.
Bergabung dengan ibu-ibu dan beberapa gadis remaja yang sedang mencuci pakaian
sekaligus mandi.
Seperti biasa, mentari belum sempurna
keluar dari balik pegunungan. Namun kelihatannya penduduk Desa Sirandu sudah
sibuk beraktivitas. Para ibu dan gadis remaja sampai pukul 7 akan berada di
sungai. Bahkan beberapa gadis kecil ikut serta bersama ibu mereka hanya untuk
bermain air di sungai. Para bapak dengan cangkul yang disandang di pundak pergi
menuju ladang atau pun sawah. Dibantu anak laki-laki mereka yang masih menetap
di desa. Karena hampir sebagian pemuda pergi merantau ke ibu kota. Mencoba
mencari peruntungan yang tak pasti di kota yang tak pernah tidur itu.
“Katanya semalam ada pemuda yang
terjatuh di jurang dekat perbatasan desa.” Seorang gadis berkulit coklat mulai
membuka acara menggosip pagi ini. Kebiasaan yang kurang Seruni suka. “Sekarang
sich kabarnya dirawat di puskesmas,” lanjutnya.
“Paling juga nanti ujung-ujungnya
Pak Kades minta salah satu warga buat jadi sukarelawan,” timpal Ratih, gadis
yang ada di samping Seruni.
“Sukarelawan?” tanya Seruni, tak
begitu paham.
“Iya, Ni. Sukarelawan buat nampung
si korban untuk sementara waktu.”
“Kalau korbannya cakep, aku juga mau
jadi sukarelawan,” celetuk Siti, si gadis berkulit coklat dengan gaya
centilnya. Semua yang mendengar hanya tertawa dengan tanggapan Siti. Ya karena
memang itulah kenyataannya. “Siap-siap aja, Ni. Rumahmu kan dekat dari rumah
Pak Kades. Siapa tau nanti ditampungkan di rumahmu.” Lanjutnya.
Seruni melamun di beranda sederhana
depan rumahnya. Ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan hatinya. Tadi siang Pak
Kades bertandang ke rumahnya. Tepat seperti perkataan Siti tadi pagi. Beliau
menyampaikan bahwa kurang lebih selama seminggu pemuda yang mengalami
kecelakaan tadi siang akan ditampung di rumahnya. Sebenarnya bukan masalah jika
Pak Kades berniat menitipkan pemuda itu di rumahnya untuk sementara waktu. Karena
kebetulan, rumah Seruni berada tak jauh dari rumah Pak Kades. Bisa dibilang
bersebelahan. Hanya saja wajah sang pemudalah yang membuatnya resah. Seperti
sebuah de javu. Seruni merasa ia begitu akrab dengan wajah itu.
“Ada apa, Nduk? Simbok lihat dari
tadi kamu terus menerus gelisah. Ada masalah?” tanpa disadari Seruni, Simbok
sudah duduk menjejerinya. Tangannya yang keriput membelai lembut dahi Seruni.
Menyingkap rambut poni yang menutupi sebagian wajahnya.
“Simbok? Belum tidur?” tanya Seruni.
Biasanya pukul 9 malam Simbok sudah tidur. Namun kali ini saat jam usang di
ruang tamu rumahnya sudah menunjukkan pukul 11 malam, Simbok masih saja
terjaga.
“Simbok belum mengantuk, Nduk.
Lagipula, Simbok lihat cucu simbok yang ayu ini sedang ada masalah,” jawab
Simbok. Seruni menghela nafas. Ternyata memang Simbok tak bisa dibohongi. Sudah
barang tentu begitu. Seruni menatap lekat wajah Simbok. Ah, wajah itulah yang
selalu memberikan ketenangan di hatinya. Wajah tua yang selalu menyimpan
kearifan didalamnya. Sebagai bukti nyata telah banyak memerankan lakon dunia
ini.
“Nggak ada apa-apa. Seruni cuma lagi
nggak enak badan aja,” kilah Seruni. Dia tak ingin Simbok khawatir dengan
kegalauan yang sedang melanda hatinya. Simbok masih saja menatap Seruni sebelum
akhirnya beliau tersenyum lembut.
“Ya sudah. Sekarang kita istirahat.
Malam sudah larut,” ajak Simbok, yang dibalas anggukan kecil Seruni.
Sinar matahari siang ini begitu
terik. Angin yang dihasilkan dari kipasan tangannya tak mampu mengusir rasa
gerah dari sekujur tubuhnya. Dengan cekatan Seruni mengucir rambut hitam
panjangnya. Sehingga dapat mengurangi peluh yang membasahi lehernya.
“De,” tiba-tiba dari balik
punggungnya laki-laki itu berdiri menatapnya. Kedua tangannya saling meremas
gelisah. Ada apa gerangan?
“Ya? Ada apa?” tanya Seruni ramah.
Matanya lekat menatap bola mata laki-laki dihadapannya. Entah Seruni yang salah
lihat atau memang ada sesuatu, Seruni menangkap sorot ketakutan dimata sayu
itu. “Ada yang bisa saya bantu Mas..” Seruni tak meneruskan kalimatnya. Ia baru
ingat, Seruni tak mengetahui nama laki-laki ini.
Laki-laki dihadapan Seruni kini
terdiam. Padahal Seruni berharap dia mau menyebutkan namanya. Kalau nama saja
tak tahu, Seruni harus memanggilnya siapa? Hanya, ‘Mas’ atau ‘njenengan’?
Rasanya kurang sopan.
“Nuwun sewu, namanya siapa ya? Maaf
kalau saya nggak sopan,” tanya Seruni salah tingkah memecah keheningan yang
sempat terjadi. Namun tetap saja, laki-laki dihadapannya bergeming. Mulutnya
bungkam. Pias ketakutan semakin kentara. Bukannya menjawab pertanyaan Seruni,
laki-laki itu justru berbalik pergi dari hadapannya. Kembali ke kamarnya.
Meninggalkan Seruni dalam kebingungan.
“Mbok,” panggil Yu Darmi, penjual
sayuran tak jauh dari rumah Simbok. Make up tebal yang melapisi wajahnya
terlihat mulai luntur terkikis keringat. Sandal dengan hak yang cukup tinggi
berbunyi nyaring tatkala Yu Darmi berlari menghampiri Simbok.
“Kemarin Pak Kades nyari-nyari
Seruni. Katanya ada hal penting yang mau disampaikan,” terang Yu Darmi.
“Ada apa ya?”
“Wah, saya kurang tahu Mbok. Coba
tanya langsung ke Pak Kades aja,” saran Yu Darmi.
Lagi-lagi Seruni terbengong melihat
sosok yang tak jauh dari hadapannya. Laki-laki yang selama tiga hari belakangan
menjadi tamu dirumahnya kembali bertingkah aneh di mata gadis itu.
Mondar-mandir di halaman belakang rumahnya selayak orang kehilangan arah.
“Nuwun sewu, Mas. Sedang apa ya?”
tanya Seruni, setelah matanya cukup dibuat pusing menyaksikan tingkah laki-laki
itu.
“Saya lagi bingung,” jawab laki-laki
itu.
“Kenapa bingung? Mungkin saya bisa
bantu.”
“Saya…saya punya dosa, De,” aku
laki-laki itu. Wajahnya menampakkan raut begitu menyesal. Mungkin ia merasa
berdosa.
“Dosa? Dosa apa? Bukankah yang
mengetahui tentang perkara dosa hanya Tuhan saja?”
“Tuhan sudah membenci dan malaknat
saya. Karena saya sudah menyakiti salah satu malaikatnya yang paling manis,” tuturnya.
Seruni semakin tidak mengerti. Kedua alisnya bertaut menandakan kebingungan
didalam kepalanya. Omongannya makin
meracau, batin Seruni.
“Sudahlah, De. Memang sudah
sepantasnya.”
Laki-laki itu pun kembali berlalu.
Meninggalkan kesunyian didalam sebersit cahaya keemasan senja hari ini.
Sabtu yang begitu dingin. Sejak
subuh, kabut tebal yang menyelimuti kawasan pegunungan terasa begitu menusuk
kulit. Tak heran jika jalanan desa masih lengang. Penduduk enggan keluar rumah
dan bergumul dengan gumpalan kabut yang membuat mereka menggigil. Begitu juga
dengan Seruni. Padahal jam sudah menunjukan pukul 7 tepat. Namun selimut yang
biasa digunakannya sewaktu tidur masih setia membalut tubuhnya pagi ini.
“Nduk, bangun. Sampai kapan kamu mau
tidur terus? Nggak baik anak perawan malas-malasan,” tegur Simbok dari luar
pintu kamarnya.
“Seruni sudah bangun, Mbok. Cuma
malas bangkit, dingin.”
Pintu coklat dari kayu jati itu
terbuka. Wajah Simbok nampak dari ambang pintu. “Ayo, bangun. Jalan-jalan
diluar, nanti nggak dingin,” tutur Simbok sembari menyibak selimut Seruni.
Seruni bergeming menatap Simbok. “Kok malah diam?”
“Malas, Mbok,” jawab Seruni
“Ayo, bangun. Kalau nggak mau
jalan-jalan ya sudah, kamu bantu Simbok masak saja,” tawar Simbok. Masih dengan
perasaan malas, Seruni beranjak dari tempat tidurnya. Rambut panjangnya
berantakan. Kedua tangannya mendekap tubuhnya sendiri guna menghalau hawa
dingin.
“Nduk, nanti siang kamu temani
Simbok ke kantor Pak Kades ya?”
“Untuk apa datang ke sana, Mbok? Ada
keperluan apa?”
“Simbok juga kurang tau. Kata Yu
Darmi, kemarin kamu dicari Pak Kades, Nduk. Tapi nggak tau ada urusan apa.”
“Saya, Mbok? Kok?” Seruni bingung.
Pak Kades mencarinya? Sejak kapan dia jadi orang penting sampai-sampai seorang
Kades pun mencarinya?
“Nuwun sewu,” sebuah suara yang
akrab ditelinga Seruni akhir-akhir ini membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu.
Berdiri diambang pintu dapur dengan rambut basah. Titik-titik air masih
terlihat belum mengering disekitar alis dan bulu matanya yang cukup lentik.
“Ya? Ada apa, Mas?” tanya Simbok
ramah.
“Kiblat ke arah mana ya?”
“Oh, ke arah sana mas. Searah dengan
arah muka rumah ini.”
Seruni melongo. “Laki-laki itu mau
sholat?” gumamnya.
Siang begitu terik. Namun tubuh
Seruni serasa membeku. Pikirannya kosong. Angin yang dihembuskan kipas angin
yang berputar tepat diatas kepalanya rasanya mampu membuat Seruni menggigil.
Saat ini ruang kerja Pak Kades laksana pengadilan baginya. Dan kabar yang baru
saja beliau sampaikan adalah vonis hukuman yang begitu berat hingga membuatnya
tak berkutik.
“Begitu, Nak Seruni. Beliau
benar-benar memohon kepada saya untuk membujuk Nak Seruni. Bagaimana pun juga,
beliau itu kan ibu Nak Seruni. Dan dia juga ingin menebus kesalahannya pada Nak
Seruni di masa lampau.” Terang Pak Kades.
Seruni bungkam.
“Nduk, kamu nggak apa-apa?” tanya Simbok, yang duduk tepat
disampingnya. Salah satu tangan keriputnya menyentuh kedua tangan Seruni yang tertelungkup
diatas pangkuan.
Wajah Seruni kaku. Ia tak tahu harus
berekspresi seperti apa. Bahagia kah? Atau bersedih? Semua menjadi begitu
rumit. Kenangan itu. Kenangan lama yang selama beberapa tahun menghantuinya.
Kenangan yang dengan sekuat tenaga berusaha Seruni kubur dalam-dalam. Semua
kenangan buruk itu seakan ditarik paksa keluar dihadapan Seruni.
Seruni memejamkan mata. Dadanya
sesak. Suara khawatir Simbok sama sekali tak dihiraukannya. Seruni tetap
membeku. Kisah 10 tahun yang lalu kembali berputar denan cepat dikepala Seruni.
Layaknya rol-rol film pada pemutaran film bioskop. Sama sekali tak tersedia
tombol ‘stop’ atau pun ‘pause’.
“Nduk, ayo pulang. Kamu menenangkan
diri di rumah. Minta pentunjuk pada Gusti Allah.” Suara Simbok bergetar. Namun
Seruni tahu, Simbok berusaha menguatkan diri dan hatinya.
Sepulang dari kantor kepala desa, tak satupun orang-orang
yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka yang ia perhatikan. Yang terasa
hanyalah kesunyian dan desir angin gelisah. Dengan sabar, Simbok menuntunnya
hingga beranda rumah.
“Nduk,” panggil Simbok lirih. Seruni
menoleh enggan. “Kamu baik-baik saja?” lanjutnya.
Seruni menatap mata Simbok, lama.
Mencoba mencari sesuatu entah apa yang dapat mengusir semua kegalauan dan
gelisah hatinya. Namun, nihil. Hanya rasa cemas akan dirinya lah yang ia
temukan. Tanpa mampu dibendung lagi, tangis Seruni pecah. Luka yang selama ini
mampu ia simpan rapat-rapat seakan termuntahkan keluar. Bayangan saat ibunda
yang begitu ia sanjung, ia sayang, dengan tega menjual diri Seruni yang masih
begitu muda kepada germo tua di daerahnya. Hanya demi sebotol minuman keras.
Tragis.
Tangis Seruni makin menjadi. Tatkala
ingatannya tentang laki-laki lusuh dengan aroma minum keras yang menyengat
hidungnya, mengejar dan ingin mendekapnya paksa. Seruni terus berlari. Berusaha
menyembunyikan diri dari mata laki-laki itu.
Tiba-tiba Seruni tersentak.
Tangisnya seketika berhenti. Ia ingat sekarang. Ia ingat laki-laki itu. Ia
dapat menggambarkan dengan jelas laki-laki yang memberi mimpi buruk di setiap
langkah hidupnya.
“Asep!”
“Ya?”
Seruan Seruni berbarengan dengan
suara laki-laki yang akrab ditelinganya. Dia menoleh cepat. Kedua matanya
membelalak tak percaya. Dia kah? Benarkah laki-laki yang dihadapannya adalah
dia? Batin Seruni.
“Ya, aku Asep. Akhirnya kau ingat
tentang dosaku waktu lampau,” ujar laki-laki itu yang tak lain adalah Asep.
****
Pohon mahoni yang tumbuh dijalan
setapak depan rumahnya tak terasa semakin besar. Rantingnya kini sudah mampu
memayungi rumpun tanaman mawar yang sedang mekar dengan indahnya.
Seruni duduk santai diatas kursi
kayu jati usangnya. Polesan cat warna hitam yang melapisi terlihat telah pudar
termakan usia. Pikiran Seruni melayang.
Sudah satu bulan terlewat sejak peristiwa di kantor Pak Kades itu. Tak
menyangka, dirinya masih bisa merasakan kedamaian macam ini.
Tanpa Seruni sadari, tangan lemah
Simbok menyentuh bahunya pelan. Membuyarkan lamunan-lamunannya.
Simbok tersenyum, “Sudah makan
siang, Nduk?”
“Sudah, Mbok.”
“Temani Simbok di dalam ya, Nduk.
Simbok ingin mendengar suara kamu. Kangen,” pinta Simbok. Seruni tertawa kecil.
Ah, Simbok. Selalu saja dapat melenyapkan mimpi-mimpi buruk itu. Dan karena
alasan itu pula lah, Seruni memutuskan untuk menolak ajakan pulang ibunya dan
tetap tinggal bersama Simbok. Tentang laki-laki bernama Asep itu. Biarlah. Toh
Tuhan tahu untuk memberi ganjaran seperti apa yang setimpal dengan perbuatan
hambanya. Seruni tersenyum. Ah, rasanya senja kali ini terasa paling indah
dibanding senja-senja sebelumnya. (Syifa Faidati)
0 komentar:
Posting Komentar