Selasa, 18 Desember 2012

Denting Seruni

Suara langkah kaki itu semakin cepat. Alas sepatu yang keras membuat bunyi yang cukup nyaring. Kedua tangan kurusku mendekap erat kedua kakiku. Berharap dapat meredam gemetar hebat tubuhku. Suara itu semakin mendekat. Tuhan, aku mohon jangan biarkan dia menemukanku. Jangan biarkan hal mengerikan itu terjadi padaku.
            BRAK!!! Keringat dingin makin deras membasahi tubuhku. Lemari kayu tempat aku bersembunyi serasa menjadi transparan. Rasa takutku kian membuncah. Langkah kaki itu mantap mendekat dengan tempatku meringkuk sekarang.
            “Asep! Sudahlah. Lupakan saja cewek sialan itu.” Suara seorang laki-laki memanggilnya. Mungkin kawannya. Aku tidak peduli siapa laki-laki yang memanggilnya. Yang aku harapkan sekarang laki-laki bajingan bernama Asep itu meninggalkan ruangan ini segera. Melupakan keberadaanku dan tak pernah muncul di depanku lagi.
            “Si bagong mbawa cewek baru lagi. Lebih sip,” lanjut laki-laki tadi. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, laki-laki bernama Asep itu berjalan menjauh. Walau perlahan, namun aku yakin dia keluar dari ruangan ini.
***
            Kuncup-kuncup mentari merekah dari selangkangan fajar. Membuka hari ini dengan indah. Titik-titik embun yang menggelanyut manja pada pucuk daun talas berkilau indah. Gemericik air sungai yang berwarna hijau bening merupakan irama merdu di kala pagi. Kicau burung gereja di dahan pohon randu menambah semarak awal hari ini. Seruni melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Kedua tangannya erat mendekap bakul cucian. Matanya dengan awas memperhatikan tanah lempung yang telah tertutup lumut di bawahnya.
            “Nak Seruni, hari ini menggantikan Simbok nyuci baju ya?” Seorang ibu paruh baya memperhatikan sekilas kedatangan Seruni. Tangannya yang semula sibuk mencuci pakaian, sejenak membenahi kain jarit yang membalut tubuhnya.
            “Iya. Simbok kurang sehat, jadi saya yang mencuci pakaian,” jawab Seruni yang kini sudah ikut masuk ke sungai. Bergabung dengan ibu-ibu dan beberapa gadis remaja yang sedang mencuci pakaian sekaligus mandi.
            Seperti biasa, mentari belum sempurna keluar dari balik pegunungan. Namun kelihatannya penduduk Desa Sirandu sudah sibuk beraktivitas. Para ibu dan gadis remaja sampai pukul 7 akan berada di sungai. Bahkan beberapa gadis kecil ikut serta bersama ibu mereka hanya untuk bermain air di sungai. Para bapak dengan cangkul yang disandang di pundak pergi menuju ladang atau pun sawah. Dibantu anak laki-laki mereka yang masih menetap di desa. Karena hampir sebagian pemuda pergi merantau ke ibu kota. Mencoba mencari peruntungan yang tak pasti di kota yang tak pernah tidur itu.
            “Katanya semalam ada pemuda yang terjatuh di jurang dekat perbatasan desa.” Seorang gadis berkulit coklat mulai membuka acara menggosip pagi ini. Kebiasaan yang kurang Seruni suka. “Sekarang sich kabarnya dirawat di puskesmas,” lanjutnya.
            “Paling juga nanti ujung-ujungnya Pak Kades minta salah satu warga buat jadi sukarelawan,” timpal Ratih, gadis yang ada di samping Seruni.
            “Sukarelawan?” tanya Seruni, tak begitu paham.
            “Iya, Ni. Sukarelawan buat nampung si korban untuk sementara waktu.”
            “Kalau korbannya cakep, aku juga mau jadi sukarelawan,” celetuk Siti, si gadis berkulit coklat dengan gaya centilnya. Semua yang mendengar hanya tertawa dengan tanggapan Siti. Ya karena memang itulah kenyataannya. “Siap-siap aja, Ni. Rumahmu kan dekat dari rumah Pak Kades. Siapa tau nanti ditampungkan di rumahmu.” Lanjutnya.
            Seruni melamun di beranda sederhana depan rumahnya. Ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan hatinya. Tadi siang Pak Kades bertandang ke rumahnya. Tepat seperti perkataan Siti tadi pagi. Beliau menyampaikan bahwa kurang lebih selama seminggu pemuda yang mengalami kecelakaan tadi siang akan ditampung di rumahnya. Sebenarnya bukan masalah jika Pak Kades berniat menitipkan pemuda itu di rumahnya untuk sementara waktu. Karena kebetulan, rumah Seruni berada tak jauh dari rumah Pak Kades. Bisa dibilang bersebelahan. Hanya saja wajah sang pemudalah yang membuatnya resah. Seperti sebuah de javu. Seruni merasa ia begitu akrab dengan wajah itu.
            “Ada apa, Nduk? Simbok lihat dari tadi kamu terus menerus gelisah. Ada masalah?” tanpa disadari Seruni, Simbok sudah duduk menjejerinya. Tangannya yang keriput membelai lembut dahi Seruni. Menyingkap rambut poni yang menutupi sebagian wajahnya.
            “Simbok? Belum tidur?” tanya Seruni. Biasanya pukul 9 malam Simbok sudah tidur. Namun kali ini saat jam usang di ruang tamu rumahnya sudah menunjukkan pukul 11 malam, Simbok masih saja terjaga.
            “Simbok belum mengantuk, Nduk. Lagipula, Simbok lihat cucu simbok yang ayu ini sedang ada masalah,” jawab Simbok. Seruni menghela nafas. Ternyata memang Simbok tak bisa dibohongi. Sudah barang tentu begitu. Seruni menatap lekat wajah Simbok. Ah, wajah itulah yang selalu memberikan ketenangan di hatinya. Wajah tua yang selalu menyimpan kearifan didalamnya. Sebagai bukti nyata telah banyak memerankan lakon dunia ini.
            “Nggak ada apa-apa. Seruni cuma lagi nggak enak badan aja,” kilah Seruni. Dia tak ingin Simbok khawatir dengan kegalauan yang sedang melanda hatinya. Simbok masih saja menatap Seruni sebelum akhirnya beliau tersenyum lembut.
            “Ya sudah. Sekarang kita istirahat. Malam sudah larut,” ajak Simbok, yang dibalas anggukan kecil Seruni.
            Sinar matahari siang ini begitu terik. Angin yang dihasilkan dari kipasan tangannya tak mampu mengusir rasa gerah dari sekujur tubuhnya. Dengan cekatan Seruni mengucir rambut hitam panjangnya. Sehingga dapat mengurangi peluh yang membasahi lehernya.
            “De,” tiba-tiba dari balik punggungnya laki-laki itu berdiri menatapnya. Kedua tangannya saling meremas gelisah. Ada apa gerangan?
            “Ya? Ada apa?” tanya Seruni ramah. Matanya lekat menatap bola mata laki-laki dihadapannya. Entah Seruni yang salah lihat atau memang ada sesuatu, Seruni menangkap sorot ketakutan dimata sayu itu. “Ada yang bisa saya bantu Mas..” Seruni tak meneruskan kalimatnya. Ia baru ingat, Seruni tak mengetahui nama laki-laki ini.
            Laki-laki dihadapan Seruni kini terdiam. Padahal Seruni berharap dia mau menyebutkan namanya. Kalau nama saja tak tahu, Seruni harus memanggilnya siapa? Hanya, ‘Mas’ atau ‘njenengan’? Rasanya kurang sopan.
            “Nuwun sewu, namanya siapa ya? Maaf kalau saya nggak sopan,” tanya Seruni salah tingkah memecah keheningan yang sempat terjadi. Namun tetap saja, laki-laki dihadapannya bergeming. Mulutnya bungkam. Pias ketakutan semakin kentara. Bukannya menjawab pertanyaan Seruni, laki-laki itu justru berbalik pergi dari hadapannya. Kembali ke kamarnya. Meninggalkan Seruni dalam kebingungan.
            “Mbok,” panggil Yu Darmi, penjual sayuran tak jauh dari rumah Simbok. Make up tebal yang melapisi wajahnya terlihat mulai luntur terkikis keringat. Sandal dengan hak yang cukup tinggi berbunyi nyaring tatkala Yu Darmi berlari menghampiri Simbok.
            “Kemarin Pak Kades nyari-nyari Seruni. Katanya ada hal penting yang mau disampaikan,” terang Yu Darmi.
            “Ada apa ya?”
            “Wah, saya kurang tahu Mbok. Coba tanya langsung ke Pak Kades aja,” saran Yu Darmi.
            Lagi-lagi Seruni terbengong melihat sosok yang tak jauh dari hadapannya. Laki-laki yang selama tiga hari belakangan menjadi tamu dirumahnya kembali bertingkah aneh di mata gadis itu. Mondar-mandir di halaman belakang rumahnya selayak orang kehilangan arah.
            “Nuwun sewu, Mas. Sedang apa ya?” tanya Seruni, setelah matanya cukup dibuat pusing menyaksikan tingkah laki-laki itu.
            “Saya lagi bingung,” jawab laki-laki itu.
            “Kenapa bingung? Mungkin saya bisa bantu.”
            “Saya…saya punya dosa, De,” aku laki-laki itu. Wajahnya menampakkan raut begitu menyesal. Mungkin ia merasa berdosa.
            “Dosa? Dosa apa? Bukankah yang mengetahui tentang perkara dosa hanya Tuhan saja?”
            “Tuhan sudah membenci dan malaknat saya. Karena saya sudah menyakiti salah satu malaikatnya yang paling manis,” tuturnya. Seruni semakin tidak mengerti. Kedua alisnya bertaut menandakan kebingungan didalam kepalanya. Omongannya makin meracau, batin Seruni.
            “Sudahlah, De. Memang sudah sepantasnya.”
            Laki-laki itu pun kembali berlalu. Meninggalkan kesunyian didalam sebersit cahaya keemasan senja hari ini.
            Sabtu yang begitu dingin. Sejak subuh, kabut tebal yang menyelimuti kawasan pegunungan terasa begitu menusuk kulit. Tak heran jika jalanan desa masih lengang. Penduduk enggan keluar rumah dan bergumul dengan gumpalan kabut yang membuat mereka menggigil. Begitu juga dengan Seruni. Padahal jam sudah menunjukan pukul 7 tepat. Namun selimut yang biasa digunakannya sewaktu tidur masih setia membalut tubuhnya pagi ini.
            “Nduk, bangun. Sampai kapan kamu mau tidur terus? Nggak baik anak perawan malas-malasan,” tegur Simbok dari luar pintu kamarnya.
            “Seruni sudah bangun, Mbok. Cuma malas bangkit, dingin.”
            Pintu coklat dari kayu jati itu terbuka. Wajah Simbok nampak dari ambang pintu. “Ayo, bangun. Jalan-jalan diluar, nanti nggak dingin,” tutur Simbok sembari menyibak selimut Seruni.
Seruni bergeming menatap Simbok. “Kok malah diam?”
            “Malas, Mbok,” jawab Seruni
            “Ayo, bangun. Kalau nggak mau jalan-jalan ya sudah, kamu bantu Simbok masak saja,” tawar Simbok. Masih dengan perasaan malas, Seruni beranjak dari tempat tidurnya. Rambut panjangnya berantakan. Kedua tangannya mendekap tubuhnya sendiri guna menghalau hawa dingin.
            “Nduk, nanti siang kamu temani Simbok ke kantor Pak Kades ya?”
            “Untuk apa datang ke sana, Mbok? Ada keperluan apa?”
            “Simbok juga kurang tau. Kata Yu Darmi, kemarin kamu dicari Pak Kades, Nduk. Tapi nggak tau ada urusan apa.”
            “Saya, Mbok? Kok?” Seruni bingung. Pak Kades mencarinya? Sejak kapan dia jadi orang penting sampai-sampai seorang Kades pun mencarinya?
            “Nuwun sewu,” sebuah suara yang akrab ditelinga Seruni akhir-akhir ini membuyarkan lamunannya. Laki-laki itu. Berdiri diambang pintu dapur dengan rambut basah. Titik-titik air masih terlihat belum mengering disekitar alis dan bulu matanya yang cukup lentik.
            “Ya? Ada apa, Mas?” tanya Simbok ramah.
            “Kiblat ke arah mana ya?”
            “Oh, ke arah sana mas. Searah dengan arah muka rumah ini.”
            Seruni melongo. “Laki-laki itu mau sholat?” gumamnya.
            Siang begitu terik. Namun tubuh Seruni serasa membeku. Pikirannya kosong. Angin yang dihembuskan kipas angin yang berputar tepat diatas kepalanya rasanya mampu membuat Seruni menggigil. Saat ini ruang kerja Pak Kades laksana pengadilan baginya. Dan kabar yang baru saja beliau sampaikan adalah vonis hukuman yang begitu berat hingga membuatnya tak berkutik.
            “Begitu, Nak Seruni. Beliau benar-benar memohon kepada saya untuk membujuk Nak Seruni. Bagaimana pun juga, beliau itu kan ibu Nak Seruni. Dan dia juga ingin menebus kesalahannya pada Nak Seruni di masa lampau.” Terang Pak Kades.
            Seruni bungkam.
            “Nduk, kamu  nggak apa-apa?” tanya Simbok, yang duduk tepat disampingnya. Salah satu tangan keriputnya menyentuh kedua tangan Seruni yang tertelungkup diatas pangkuan.
            Wajah Seruni kaku. Ia tak tahu harus berekspresi seperti apa. Bahagia kah? Atau bersedih? Semua menjadi begitu rumit. Kenangan itu. Kenangan lama yang selama beberapa tahun menghantuinya. Kenangan yang dengan sekuat tenaga berusaha Seruni kubur dalam-dalam. Semua kenangan buruk itu seakan ditarik paksa keluar dihadapan Seruni.
            Seruni memejamkan mata. Dadanya sesak. Suara khawatir Simbok sama sekali tak dihiraukannya. Seruni tetap membeku. Kisah 10 tahun yang lalu kembali berputar denan cepat dikepala Seruni. Layaknya rol-rol film pada pemutaran film bioskop. Sama sekali tak tersedia tombol ‘stop’ atau pun ‘pause’.
            “Nduk, ayo pulang. Kamu menenangkan diri di rumah. Minta pentunjuk pada Gusti Allah.” Suara Simbok bergetar. Namun Seruni tahu, Simbok berusaha menguatkan diri dan hatinya.
Sepulang dari kantor kepala desa, tak satupun orang-orang yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka yang ia perhatikan. Yang terasa hanyalah kesunyian dan desir angin gelisah. Dengan sabar, Simbok menuntunnya hingga beranda rumah.
            “Nduk,” panggil Simbok lirih. Seruni menoleh enggan. “Kamu baik-baik saja?” lanjutnya.
            Seruni menatap mata Simbok, lama. Mencoba mencari sesuatu entah apa yang dapat mengusir semua kegalauan dan gelisah hatinya. Namun, nihil. Hanya rasa cemas akan dirinya lah yang ia temukan. Tanpa mampu dibendung lagi, tangis Seruni pecah. Luka yang selama ini mampu ia simpan rapat-rapat seakan termuntahkan keluar. Bayangan saat ibunda yang begitu ia sanjung, ia sayang, dengan tega menjual diri Seruni yang masih begitu muda kepada germo tua di daerahnya. Hanya demi sebotol minuman keras. Tragis.
            Tangis Seruni makin menjadi. Tatkala ingatannya tentang laki-laki lusuh dengan aroma minum keras yang menyengat hidungnya, mengejar dan ingin mendekapnya paksa. Seruni terus berlari. Berusaha menyembunyikan diri dari mata laki-laki itu.
            Tiba-tiba Seruni tersentak. Tangisnya seketika berhenti. Ia ingat sekarang. Ia ingat laki-laki itu. Ia dapat menggambarkan dengan jelas laki-laki yang memberi mimpi buruk di setiap langkah hidupnya.
            “Asep!”
            “Ya?”
            Seruan Seruni berbarengan dengan suara laki-laki yang akrab ditelinganya. Dia menoleh cepat. Kedua matanya membelalak tak percaya. Dia kah? Benarkah laki-laki yang dihadapannya adalah dia? Batin Seruni.
            “Ya, aku Asep. Akhirnya kau ingat tentang dosaku waktu lampau,” ujar laki-laki itu yang tak lain adalah Asep.
****
            Pohon mahoni yang tumbuh dijalan setapak depan rumahnya tak terasa semakin besar. Rantingnya kini sudah mampu memayungi rumpun tanaman mawar yang sedang mekar dengan indahnya.
            Seruni duduk santai diatas kursi kayu jati usangnya. Polesan cat warna hitam yang melapisi terlihat telah pudar termakan usia. Pikiran Seruni melayang.  Sudah satu bulan terlewat sejak peristiwa di kantor Pak Kades itu. Tak menyangka, dirinya masih bisa merasakan kedamaian macam ini.
            Tanpa Seruni sadari, tangan lemah Simbok menyentuh bahunya pelan. Membuyarkan lamunan-lamunannya.
            Simbok tersenyum, “Sudah makan siang, Nduk?”
            “Sudah, Mbok.”
            “Temani Simbok di dalam ya, Nduk. Simbok ingin mendengar suara kamu. Kangen,” pinta Simbok. Seruni tertawa kecil. Ah, Simbok. Selalu saja dapat melenyapkan mimpi-mimpi buruk itu. Dan karena alasan itu pula lah, Seruni memutuskan untuk menolak ajakan pulang ibunya dan tetap tinggal bersama Simbok. Tentang laki-laki bernama Asep itu. Biarlah. Toh Tuhan tahu untuk memberi ganjaran seperti apa yang setimpal dengan perbuatan hambanya. Seruni tersenyum. Ah, rasanya senja kali ini terasa paling indah dibanding senja-senja sebelumnya. (Syifa Faidati)

 

0 komentar:

Posting Komentar